BAB I
A.
LATAR BELAKANG
Belajar merupakan tindakan dan perilaku peserta
didik yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami oleh peserta
didik sendiri. Peserta didik adalah
penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi
berkat peserta didik mempelajari sesuatu yang ada di lingkungan sekitar.
Lingkungan yang dipelajari oleh peserta didik berupa keadaan alam, benda-benda atau hal-hal yang dijadikan
bahan belajar.
Tindakan belajar dari suatu hal tersebut nampak
sebagai perilaku belajar yang nampak dari luar. Pengertian dari belajar sangat beragam, banyak
dari para ahli yang mengartikan secara berbeda-beda definisi dari belajar. Sebagaimana kita ketahui bahwa
belajar merupakan hal yang penting dalam bidang pendidikan. Tentu saja dalam
proses belajar terdapat teori-teori yang memunculkan adanya belajar.
Dari zaman dahulu, para ilmuwan terus
mengembangkan teori-teori belajar sebagai temuan mereka untuk mengembangkan
pemikiran belajar mereka. Era globalisasi telah membawa berbagai perubahan yang memunculkan adanya
teori-teori belajar yang baru guna menyempurnakan teori–teori yang telah ada
sebelumnya.
Dengan bermunculnya teori-teori yang baru akan
menyempurnakan teori-teori yang sebelumnya. Berbagai teori belajar dapat dikaji
dan diambil manfaat dengan adanya teori tersebut. Tentunya setiap teori belajar memiliki
keistimewaan tersendiri. Bahkan, tak jarang dalam setiap teori belajar juga terdapat
kritikan-kritikan untuk penyempurnaan teori tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini
masalah yang perlu dipecahkan dirumuskan sebagai berikut :
1.
Apa pengertian belajar
bermakna menurut Ausubel ?
2.
Apa saja prasyarat belajar
bermakna menurut Ausubel ?
3.
Apa saja tipe belajar
menurut Ausubel ?
4.
Apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel ?
5.
Bagaimana langkah-langkah
pembelajaran Ausubel?
6.
Apa saja kekurangan dan
kelebihan dari belajar bermakna ?
7.
Metode dan pendekatan apa
yang sesuai dengan teori belajar Ausubel ?
C.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui pengertian
belajar bermakna menurut Ausubel.
2.
Untuk mengetahui prasyarat
belajar bermakna menurut Ausubel.
3.
Untuk mengetahui tipe belajar
menurut Ausubel.
4.
Untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel.
5.
Untuk mengetahui langkah-langkah
pembelajaran Ausubel.
6.
Untuk mengetahui kekurangan dan
kelebihan dari belajar bermakna.
7.
Untuk mengetahui metode dan
pendekatan yang sesuai dengan teori belajar Ausubel.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Belajar Bermakna
Menurut David P. Ausubel, ada dua jenis belajar :
1. Belajar Bermakna (Meaningfull
Learning)
Belajar dikatakan bermakna bila informasi yang
akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang
dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat mengaitkan
informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Sehingga peserta
didik menjadi kuat ingatannya dan transfer belajarnya mudah dicapai. Struktur
kognitif dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah
diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh siswa.
2. Belajar Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif yang cocok dengan
fenomena baru itu belum ada maka informasi baru tersebut harus dipelajari
secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang memperoleh
informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan
dengan apa yang ia ketahui sebelumnya.
B.
Dua Dimensi Belajar Bermakna Menurut
Ausubel
Menurut
Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama
berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada
peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua
menyangkut bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi itu pada struktur
kognitif yang telah ada. Jika peserta didik hanya mencoba menghafalkan informasi baru itu tanpa
menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan
hafalan. Sebaliknya jika
peserta didik menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya
maka yang terjadi adalah belajar bermakna.
C.
Empat Tipe Belajar Menurut Ausubel
1. Belajar dengan penemuan yang
bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara
bebas oleh peserta didik. Peserta didik itu kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan
struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik diminta menemukan sifat-sifat suatu bujur sangkar. Dengan mengaitkan pengetahuan yang
sudah dimiliki, seperti sifat-sifat persegi panjang, peserta didik dapat
menemukan sendiri sifat-sifat bujur sangkar tersebut.
2. Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Informasi
yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik, kemudian ia
menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat-sifat bujur sangkar tanpa
bekal pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan dengan segiempat dengan
sifat-sifatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka. Dengan alat-alat ini diketemukan sifat-sifat
bujur sangkar dan kemudian dihafalkan.
3. Belajar menerima yang bermakna
Informasi
yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik dalam bentuk
final/ akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu
dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan mempelajari
akar-akar persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan-bahan yang akan
diberikan yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi
persamaan kuadrat tersebut dengan mudah ter’tanam’ kedalam konsep
persamaan yang sudah dimiliki peserta didik. Karena pengertian persamaan lebih
inklusif dari pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut dapat
dipelajari peserta didik secara bermakna.
4. Belajar menerima yang tidak bermakna
Dari
setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam bentuk final. Peserta didik tersebut kemudian
menghafalkannya. Bahan yang
disajikan tadi tanpa memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik.
D.
Prasyarat Belajar Bermakna
a. Kondisi dan sikap peserta didik
terhadap tugas, hendaknya bersesuaian dengan intensi peserta didik. Apabila
peserta didik melaksanakan tugas dengan sikap bahwa ia ingin memahami bahan
pelajaran dan mengaplikasikan bahan baru serta menghubungkan bahan pelajaran
yang terdahulu, dikatakan peserta didik itu belajar bahan baru dengan cara yang
bermakna. Sebaliknya bila peserta didik itu tidak berkehendak mengaitkan bahan
yang dipelajari dengan informasi yang dimiliki, maka belajar itu tidak
bermakna. Demikianlah banyak peserta didik yang tidak berusaha mengerti
matematika, cenderung mengalami kegagalan dan akhirnya membenci matematika.
b. Tugas-tugas yang diberikan kepada
peserta didik harus sesuai dengan struktur kognitif peserta didik sehingga
peserta didik tersebut dapat mengasimilasi bahan baru secara bermakna. Belajar
bermakna pada tahap mula-mula memberikan pengertian kepada bahan baru sehingga
bahan baru itu akan terserap dan kemudian diingat peserta didik. Ia tidak
menghafal asosiasi stimulus-respon yang terpisah-pisah.
c. Tugas-tugas yang diberikan haruslah
sesuai dengan tahap perkembangan intelektual peserta didik. Peserta didik yang
masih di dalam periode operasi konkrit, bila diberi bahan materi matematika
yang abstrak tanpa contoh-contoh konkrit dari materi tersebut, akan
mengakibatkan peserta didik itu tidak mempunyai keinginan materi tersebut
secara bermakna. Dengan demikian peserta hanya menghafal pelajaran tadi tanpa
pengertian sehingga peserta didik mempelajari matematika dengan pernyataan-
pernyataan herbal yang tidak cermat dan tepat.
E.
Prinsip-prinsip Teori Belajar
Bermakna
1.
Pengatur awal (advance organizer)
Pengatur awal atau bahan pengait dapat
digunakan guru dalam membantu mengaitkan konsep lama dengan konsep baru yang
lebih tinggi maknanya. Penggunaan
pengatur awal tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi,
terutama materi pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat
mengawali pembelajaran dengan prestasi suatu pokok bahasan sebaiknya “pengatur
awal” itu digunakan, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
2.
Diferensiasi progresif
Dalam proses belajar bermakna perlu ada
pengembangan dan kolaborasi konsep-konsep. Caranya unsur yang paling umum dan
inklusif diperkenalkan dahulu kemudian baru yang lebih mendetail, berarti
proses pembelajaran dari umum ke khusus.
3.
Belajar superordinate
Belajar superordinat adalah proses struktur
kognitif yang mengalami pertumbuhan kearah deferensiasi, terjadi sejak
perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif
tersebut. Proses belajar tersebut akan terus berlangsung hingga pada suatu saat
ditemukan hal-hal baru. Belajar superordinat akan terjadi bila konsep-konsep
yang lebih luas dan inklusif.
4.
Penyesuaian Integratif
Pada suatu saat peserta didik kemungkinan
akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau lebih nama konsep digunakan untuk
menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama diterapkan pada lebih satu
konsep. Untuk mengatasi pertentangan kognitif itu, Ausubel mengajukan konsep
pembelajaran penyesuaian integratif.
Caranya materi pelajaran disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat
menggunakan hierarkhi-hierarkhi konseptual ke atas dan ke bawah selama
informasi disajikan.
F.
Menghindari Belajar Hafalan
Jika
seorang anak berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang
satu dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat
dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
Contoh lain yang dapat dikemukakan tentang
belajar hafalan ini adalah beberapa siswa SD kelas 1 atau 2 yang dapat
mengucapkan: “Ini Budi. Ini Ibu Budi,” namun ia tidak dapat menentukan sama
sekali mana yang “i” dan mana yang “di”. Contoh lain dari belajar menghafal
adalah siswa yang dapat mengingat dan menyatakan rumus luas persegi panjang
adalah l = p × l, namun ia tidak bisa menentukan luas suatu persegi panjang
karena ia tidak tahu arti lambang l, p, dan l.
Setelah
itu, si anak harus mampu mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang sudah dipunyainya, sehingga proses pembelajarannya menjadi
bermakna..
”
Jelaslah bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan
berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran. Untuk menjelaskan tentang belajar
bermakna ini, perhatikan tiga bilangan berikut.
Menurut
Anda, dari tiga bilangan berikut:
a.
50, 471, 198
b.
54, 918, 071
c. 17, 081, 945
manakah yang lebih mudah
dipelajari atau diingat para siswa? Seorang siswa dapat saja mengingat ketiga
bilangan tersebut yaitu dengan mengucapkan bilangan tersebut berulang-ulang
beberapa kali. Namun sebagai warga bangsa Indonesia tentunya Bapak dan Ibu Guru
akan meyakini bahwa bilangan (c) yaitu 17.081.945 merupakan bilangan yang
paling mudah dipelajari jika bilangan tersebut dikaitkan dengan tanggal 17 – 08
– 1945 yang merupakan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Proses pembelajaran
bilangan 17.081.945 (tujuh belas juta delapan puluh satu ribu sembilan ratus
empat puluh lima) akan bermakna bagi siswa hanya jika si siswa, dengan bantuan
gurunya, dapat mengaitkannya dengan tanggal keramat 17 Agustus 1945 yang sudah
ada di dalam kerangka kognitifnya.
Bilangan (b) yaitu
54.918.071 akan lebih mudah dipelajari siswa daripada bilangan (a) yaitu
50.471.198 karena bilangan (b) didapat dari tanggal 17–08–1945 dalam urutan
terbalik yaitu 5491–80–71.
Bilangan
(a) merupakan bilangan yang paling sulit untuk dipelajari karena aturan atau
polanya belum diketahui. Contoh di atas menunjukkan bahwa suatu proses
pembelajaran akan lebih mudah dipelajari dan dipahami siswa jika para guru
mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sedemikian sehingga para siswa
dapat mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Itulah inti dari belajar bermakna (meaningful learning) yang telah digagas
David P Ausubel.
G.
Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi
Belajar Bermakna
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar
bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan
kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu
tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan
arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif
itu; demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi.
Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur
dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan
timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu
tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu
cenderung menghambat belajar dan retensi.
H.
Kondisi- Kondisi Belajar Bermakna
1. Menjelaskan hubungan atau relevansi
bahan- bahan baru dengan bahan- bahan lama.
2. Lebih dahulu diberikan ide yang
paling umum dan kemudian hal- hal yang lebih terperinci.
3. Menunjukkan persamaan dan perbedaan
antara bahan baru dengan bahan lama.
4. Mengusahakan agar ide yang telah ada
dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan.
I.
Langkah-langkah Pembelajaran
Sebelum dimulainya suatu proses belajar, maka
penting untuk memperhatikan apa-apa saja yang telah diketahui siswa, sebab ini
merupakan faktor dalam mempengaruhi keberhasilan belajar. Untuk itu perlu
dibuat langkah-langkah pembelajaran agar tidak terjadi kerancuan dalam kegiatan
belajar. Berikut merupakan langkah-langkah pembelajaran menurut teori Ausubel:
1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristik
peserta didik (kemampuan awal, motivasi, gaya belajar, dan sebagainya)
3. Memilih materi pelajaran sesuai dengan
karakteristik peserta didik dan mengaturnya dalam bentuk konsep-konsep inti.
4. Menentukan topik-topik dan
menampilkannya dalam bentuk advance organizer
yang akan dipelajari peserta didik.
5. Mempelajari konsep-konsep inti
tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk nyata/konkret.
6. Melakukan penilaian proses dan hasil
belajar peserta didik.
J.
Kelebihan dan Kelemahan Belajar
Bermakna
-
Kelebihan Belajar Bermakna
Ada tiga kelebihan dari belajar bermakna yaitu :
1.
Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.
2.
Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
3.
Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal
yang mirip walaupun telah terjadi lupa.
-
Kelemahan Belajar Bermakna
1.
Informasi yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat.
2.
Jika peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal
yang lain yang sudah diketahuinya maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan
sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali baginya.
K.
Penerapan Pembelajaran Bermakna
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat
mengembangkan potensi kognitif peserta didik melalui proses belajar yang
bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas
belajar peserta didik, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar
akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun
untuk peserta didik pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan
langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih
efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram,
dan ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar
akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi
pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang
sudah ada dalam struktur kognisi peserta didik.
Pada
belajar bermakna peserta didik dapat mengasimilasi pada belajar bermakna secara
penerimaan, materi pelajaran disajikan dalam bentuk final, sedangkan pada
belajar bermakna secara penemuan, peserta didik diharapkan dapat menemukan
sendiri informasi konsep atau dari materi pelajaran yang disampaikan. Belajar
bermakna dapat terjadi jika peserta didik mampu mengkaitkan materi pelajaran
baru dengan struktur kognitif yang sudah ada. Struktur kognitif tersebut dapat berupa
fakta-fakta, konsep-konsep maupun generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan
dipahami sebelumnya oleh peserta didik. Bruner memandang manusia sebagai pemproses,
pemikir, dan pencipta informasi.
Anak
harus mengubah dirinya untuk melakukan hal itu, sebagai contoh, jika seorang
anak menemukan sebuah benda yang menghalangi jalan bagi mainannya
(mobil-mobilan misalnya), anak tersebut menemukan penyelesaian yang membuat
dirinya dapat memudahkan benda yang menghalangi itu dan mainannya dapat
berjalan lagi. Asimilasi di lain pihak, adalah kemampuan anak mengubah untuk
memenuhi apa yang ia imajinasikan. Anak memiliki ide apa yang ia inginkan dan
memodifikasi lingkungan untuk mencapai hal tersebut.
Ia
mungkin melakukan modifikasi melalui aktifitas mental, misalnya seorang anak
berumur 4 tahun menganggap sebatang sedotan minuman sebagai tongkat ajaib atau
lempengan plastik dianggapnya sebagi pedang yang ampuh. Namun, dapat juga ia
melakukannya dengan aktifitas fisik, misalnya seorang anak membuat rumah
rumahan, sebuah arca atau sebuah candi dari pasir. Hal ini sering dihubungkan
dengan ‘bermain’ (play), yang sangat disukai oleh anak-anak. Memang antarasimilasi dan bermain
terdapat hubungan yang sangat erat.
Kita
semua tahu bahwa anak suka bermain dan asimilasi menjelaskan mekanisme
psikologis mengenai hal itu. Dalam bermain anak-anak mentransformasikan objek-objek untuk memenuhi
imajinasi yang ada pada dirinya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa asimilasi
melibatkan proses transformasi pengalaman di dalam pikiran, sedangkan akomodasi
melibatkan proses penyesuaian pikiran terhadap pengalaman yang baru. Pada
sembarang tahapan (stage) perkembangan, akomodasi atau asimilasi salah satu
untuk sementara mendominasi dan baru kemudian digantikan oleh yang lain.
Akhirnya suatu keseimbangan (equilibrium) akan diperoleh (untuk tahapan
tertentu) melalui proses penyeimbangan atau ekuilibrasi
(equilibration). Ekuilibrasi adalah kemampuan anak untuk menyusun dan
mengatur.
L.
Metode Ekspositori
Metode ekspositori sama seperti
metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan pada guru sebagai pemberi
informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode ekspositori dominasi guru
banyak berkurang, karena tidak terus-menerus bicara. Ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan
materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Peserta
didik tidak hanya mendengar dan membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan bertanya
kalau tidak mengerti. Kalau dibandingkan dominasi guru dalam kegiatan belajar mengajar, metode
ceramah lebih terpusat pada guru daripada metode ekspositori. Pada metode ekspositori peserta
didik belajar lebih aktif daripada metode ceramah. Peserta didik mengerjakan latihan soal sendiri,
mungkin juga saling bertanya dan mengerjakannya bersama dengan temannya, atau
disuruh membuatnya di papan tulis.
Beberapa hasil penelitian (di
Amerika Serikat) menyatakan metode ekspositori merupakan cara mengajar yang
paling efektif dan efisien. Demikian pula keyakinan sementara ahli teori
belajar-mengajar. David P. Ausubel berpendapat bahwa metode ekspositori yang
baik merupakan cara mengajar yang paling efektif dan efisien dalam menanamkan
belajar bermakna.
Ausubel membedakan belajar menjadi:
a. Belajar dengan menerima (reception
learning), dan
b. Belajar melalui penemuan (discovery
learning)
Kalau materi yang disajikan kepada
peserta didik lengkap sampai bentuk akhir yang berupa rumus atau pola bilangan,
maka cara belajar peserta didik dikatakan belajar menerima. Misalnya luas
segitiga diberikan lengkap sampai rumus
. Pada belajar dengan penemuan, bentuk akhir yang
berupa rumus, pola, atau aturan itu harus ditemukan sendiri oleh peserta didik.
Proses penemuannya dapat dilakukan sendiri atau dapat pula dengan bimbingan.
Belajar dibedakan pula menjadi:
a. Belajar dengan menghafal (rote
learning), dan
b. Belajar dengan pengertian
(meaningful learning)
Pada belajar dengan pengertian yang
diutamakan adalah prosesnya, sedangkan hasilnya hanya nomor dua.
Belajar dengan menerima dan belajar melalui penemuan
kedua-duanya bisa menjadi belajar dengan menghafal atau belajar dengan
pengertian. Kalau seorang anak belajar teorema Phytagoras lengkap hingga
rumusnya dengan cara menerima, selanjutnya rumus itu selalu dikaitkan dengan
hubungan antara ukuran sisi siku-siku dan sisi miring segitiga siku-siku, maka belajar menerima itu
menjadi belajar dengan pengertian. Juga, bila seorang peserta didik memperoleh
teorema Phytagoras itu melalui penemuan dan kemudian rumusnya selalu dikaitkannya
dengan hubungan antara ukuran sisi siku-siku dengan sisi miring segitiga
siku-siku, maka belajar dengan penemuan itu menjadi belajar dengan pengertian.
Jika dua orang peserta didik belajar ; seorang belajar dengan menerima dan yang
seorang lagi belajar dengan penemuan, tetapi selanjutnya mereka hanya menghafal
bentuk akhir itu sebagai aturan untuk melakukan pembagian dengan pecahan, maka
belajar mereka akhirnya hanya belajar menghafal saja.
M. Pendekatan Deduktif
Pendekatan deduktif merupakan cara menarik kesimpulan dari hal yang umum
menjadi kasus yang khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya
menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme. Ini terdiri dari 2 macam
pernyataan yang benar dan sebuah kesimpulan (konklusi). Kedua pernyataan
pendukung silogisme disebut premis (hipotesis) yang dibedakan menjadi premis
mayor dan premis minor. Kesimpulan diperoleh sebagai hasil penalaran deduktif
berdasarkan macam premis itu.
Mengajarkan konsep dengan pendekatan deduktif dimulai dengan contoh-contoh
yang dapat diberikan oleh guru atau dicari oleh murid. Karena itu, guru harus
dapat memperkirakan pendekatan mana sebaiknya yang dipakai untuk mengajarkan bahan
tertentu di suatu kelas. Ada baiknya, para guru matematika sewaktu-waktu
bertukar pendapat mengenai pendekatan yang lebih cocok dipakai untuk
mengajarkan bahan tertentu di suatu kelas berdasarkan pengalaman. Fakta yang
diperoleh dari pengalaman merupakan salah suatu sumber pengetahuan.
Adapun kelebihan dan kelemahan
dari pendekatan deduktif dibandingkan dengan pendekatan lain adalah :
1.
Kelebihan pendekatan deduktif antara lain:
a.
Tidak memerlukan banyak waktu.
b.
Sifat dan rumus yang diperoleh dapat langsung
diaplikasikan kedalam soal-soal atau masalah yang konkrit.
2.
Kelemahan pendekatan deduktif antara lain:
a.
Siswa sering mengalami kesulitan memahami makna
matematika dalam pembelajaran. Hal ini disebabkan siswa baru bisa memahami
konsep setelah disajikan berbagai contoh.
b.
Siswa sulit memahami pembelajaran matematika
yang diberikan karena siswa
menerima konsep matematika yang secara langsung diberikan oleh guru.
c.
Siswa cenderung bosan dengan pembelajaran dengan
pendekatan deduktif, karena disini
siswa langsung menerima konsep matematika dari guru tanpa ada kesempatan
menemukan sendiri konsep tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Menurut
Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning)
dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu
proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian
yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal
adalah peserta didik berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh
guru atau yang dibaca tanpa makna.
Metode
ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan pada
guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode
ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena tidak terus-menerus bicara. Ia berbicara pada awal pelajaran,
menerangkan materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja.
Peserta didik tidak hanya mendengar dan membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan
bertanya kalau tidak mengerti.
Pendekatan
Deduktif adalah pendekatan yang
menggunakan penalaran deduktif dengan cara definisi diberikan terlebih dahulu,
kemudian para siswa diajak untuk menerapakan teori-teori melalui contoh yang
sesuai dengan materi yang diberikan sebelumnya oleh guru, atau dengan kata lain
pendekatan yang menggunakan pola pikir logis untuk menarik suatu kesimpulan
dari hal umum ke hal yang khusus.
B. SARAN
Penulis menyarankan kepada para
pembaca dan seorang calon guru agar bisa memahami apa yang dibicarakan/dibahas
dalam pembahasan makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan
terkhusus bagi para pembaca, dan apabila ada suatu kekurangan dalam makalah ini
penulis meminta maaf atas kekurangan tersebut dan penulis menunggu atau menanti
kritikan yang sifatnya membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Krismanto, Al. 2003. Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta.
Tanks Infonya
BalasHapus